Rabu, 03 Agustus 2011

“Guru berkarakter menggenggam Indonesia”



Menjadi seorang guru bisa jadi bukanlah pilihan profesi yang paling diminati banyak orang, tetapi menjadi seorang guru yang pasti merupakan profesi yang menbanggakan, terlebih menjadi seorang guru yang berkarakter. Maka, pantaslah judul yang diusung dalam esai ini adalah “Bangga menjadi guru, guru berkarakter menggenggam Indonesia”. Ada dua poin yang dapat digarisbawahi dalam topik ini, yaitu bangga menjadi guru, dan guru berkarakter menggenggam Indonesia.
Bagaimana seseorang yang telah memilih profesi guru sebagai pilihan hidupnya tidak merasa bangga terhadap dirinya? Dari sentuhan tangan seorang guru lahirlah manusia-manusia hebat yang kita kenal, seperti B.J. Habibie, yang dikenal sebagai presiden yang sangat jenius. Bahkan mungkin ketika seorang anak ditanya ingin menjadi apa ia ketika besar nanti, mungkin ia akan menjawab ingin menjadi B.J. Habibie. Presiden RI yang ketiga ini dinobatkan sebagai pemilik paten terbanyak dalam bidang kedirgantaraan di dunia (dan belum tekalahkan), NASA pernah membeli kerangka pesawat yang dirancang olehnya dan masih banyak lagi prestasi yang dicapainya. Selain B.J. Habibie, Indonesia juga memiliki March Boedihardjo, bocah Indonesia, yang mencatatkan diri sebagai mahasiswa termuda di Universitas Baptist Hong Kong (HKBU) yang akan memiliki gelar sarjana sains ilmu matematika sekaligus master filosofi matematika. Karena keistimewaannya itu, perguruan tinggi tersebut menyusun kurikulum khusus untuknya dengan jangka waktu penyelesaian lima tahun (dari 2007). Ada juga, Muhammad Arief Budiman yang merupakan anak pekerja pabrik tekstil GKBI itu sekarang menjadi motor riset utama di Orion, salah satu perusahaan riset bioteknologi terkemuka di Saint Louis, Missouri, Amerika Serikat. Jabatannya: Kepala Library Technologies Group. Menurut BusinessWeek, ia merupakan satu dari enam eksekutif kunci perusahaan genetika itu.
Prestasi-prestasi gemilang yang dicapai oleh tokoh-tokoh di atas merupakan contoh konkrit yang sudah pasti membuat mantan-mantan guru mereka, baik di sekolah dasar, menengah maupun perguruan tinggi berhak untuk merasa bangga. Contoh kecil kebanggaan dari seorang guru yang pernah saya rasakan adalah melihat mereka bisa dengan senang hati mengikuti pelajaran yang disampaikan, mereka aktif bertanya, dan berani untuk salah. Hal ini berangkat dari hakikat belajar, yaitu perjalanan yang tidak pernah berakhir dalam pembinaan dan pemahaman diri. Dari sini, guru sangat berperan dalam menganalisis serta perbaikan cara-cara belajar dituntut agar tetap berlangsung bersinambungan.
Pendidikan yang berorientasi pada siswa seyogianya mengutamakan cara-cara belajar, dan bukan sekedar memelajari materi ajar. Dalam dunia yang serba tidak menentu, sulit untuk meramalkan keterampilan yang diperlukan, dan bahkan yang sudah kita pelajari pun akan segera menjadi usang. Sekiranya dunia begitu cepat berubah, maka mutlak diperlukan kesigapan untuk mengatur langkah dalam melakukan proses belajar mengajar. Untuk itu visi saya di dalam dunia pendidikan adalah menyiapkan pendidikan yang berorientasi pada perkembangan siswa, mengandung makna menyiapkan siswa untuk menjadi pelajar yang mampu belajar secara sempurna dengan memahami tata cara menyajikan bahan baru bagi pengembangan siswa. Selain, itu saya juga akan menanamkan nilai yang seharusnya dimilik oleh siswa, di luar sekedar memenuhi tuntunan masyarakat.
Visi ini terbentuk dari kondisi yang terjadi sekarang ini. Sekolah seharusnya menjadi dunia yang khusus dan lain dari dunia masyarakatnya, di mana, anak-anak dapat merasa aman, bahagia, dan bebas menikmati masa kanak-kanaknya tanpa perduli sedikitpun atas tuntutan dari masyarakatnya. Namun, kondisi yang terjadi adalah anak-anak hanya merasakan bahwa bersekolah menjadi keharusan yang mau tidak mau harus mereka tunaikan, tanpa motivasi yang besar dalam menjalaninya untuk menggapai apa yang mereka cita-citakan di masa depan. Apa sebenarnya yang salah dengan hal ini? Sistem pendidikannya kah? Itu bisa menjadi faktor utama. Kurikulum kita menuntut terlalu banyak dari para siswa, bahkan menuntutkan hal-hal yang tidak perlu bagi mereka, sehingga memberatkan mereka, menjadikan mereka jenuh dan loyo. Akibatnya, mereka tidak menyukai pelajaran itu, lalu menjadi muak dan tidak bersemangat lagi. Selain itu orang-orang tua modern, lebih-lebih yang berada, menginginkan anak-anaknya terampil dalam banyak hal, tanpa memperdulikan tahap perkembangan mereka. Maka mereka mengirim anak-anaknya ke pelbagai kursus, seperti bahasa Inggris, musik, berenang, bela diri, dan sebagainya. Karena tuntutan yang melampaui batas kemampuan ini, anak-anak menjadi stres.
Kita sadar, tak cukup bila pendidikan hanya membekali anak-anak dengan pengetahuan. Saatnya untuk memikirkan agar sedini mungkin anak-anak diajak masuk ke dalam pemahaman dan pengalaman nilai-nilai, rasa dan keadilan. Semuanya ini tentu ditujukan agar anak-anak dapat memahami diri, sesama, dan dunianya, sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya. Namun, yang harus kita hasilkan bukanlah pebelajar penurut, melainkan pebelajar yang kritis, pengamat yang berani memiliki pendapat yang benar namun mungkin berbeda yang sifatnya kontradiktif dan original, serta yang minat dan memotivasi belajarnya tinggi. Kak Seto mengatakan bahwa pada dasarnya anak-anak itu senang meniru dan kreatif. Anak-anak pada dasarnya senang meniru karena salah satu proses pembentukan tingkah laku mereka adalah dengan cara meniru. Anak-anak yang gemar membaca pada umumnya adalah anak-anak yang mempunyai lingkungan di mana orang-orang di sekelilingnya juga gemar membaca. Dengan demikian, orang tua dan guru dituntut untuk bisa memberikan contoh-contoh keteladanan yang nyata akan hal-hal yang baik, termasuk perilaku kreatif dan bersemangat dalam mempelajari hal-hal baru. Selain itu, anak-anak pada dasarnya sangat kreatif. Mereka memiliki ciri-ciri yang oleh para ahli sering digolongkan sebagai ciri-ciri individu yang kreatif, misalnya rasa ingin tahu yang besar, senang bertanya, imajinasi yang tinggi, minat yang luas, tidak takut salah, berani menghadapi risiko, bebas dalam berpikir, senang akan hal-hal yang baru, dan sebagainya. Karena sebagai aktor utama di sekolah dalam pembentukan pribadi siswa, guru yang berkarakter harus terus dibentuk karena guru itu sendiri merupakan digugu dan ditiru. Guru yang berkarakter adalah guru yang mencintai murid-muridnya dengan tulus, mencintai pekerjaan, luwes dan mudah beradaptasi dengan perubahan dan tidak pernah berhenti belajar. Cinta yang tulus kepada murid merupakan modal awal mendidik mereka. Seorang guru menerima anak didiknya apa adanya, tidak membeda-bedakan dan mendorong mereka untuk melakukan yang terbaik pada dirinya. Guru yang mencintai pekerjaannya akan senantiasa bersemangat. Ia tidak akan merasa terbebani dan bosan. Guru yang luwes terhadap perubahan selalu mencoba menemukan cara-cara baru dalam teknik mengajar yang efektif. Terlebih lagi kurikulum di Indonesia yang acap kali berganti, namun tetap saja muatannya membebani siswa.

Pendidikan bukan berarti memberikan dan memaksakan dunia dan pengetahuan kita kepada anak-anak kita. Pendidikan yang demokratis harus memberlakukan beragam metode yang menggali kemampuan siswa untuk berperan secara aktif, dengan mengakui perbedaan kemampuan intelektual, kecepatan belajar, sifat, sikap, dan minatnya. Dengan begitu bukan tidak mungkin Indonesia mampu menelurkan penerus-penerus bangsa selanjutnya, yang tidak kalah gemilang dibandingkan dengan B.J. Habibie, March Boedihardjo, dan Muhammad Arief Budiman. Bagaimanapun, sebuah pencapaian dari seorang murid merupakan hadiah terindah bagi sang guru. Inilah kebanggan yang sesungguhnya dari profesi guru.
Untuk menutup berikut puisi yang saya buat dan saya dedikasikan untuk seluruh guru di Indonesia.
Guru....
Setiap langkahmu adalah ibadah
Setiap denyut nadimu adalah kembang asa
Setiap hembusan nafasmu adalah pelita bangsa
Jangan biarkan mutiara-mutiara bangsa ini redup
Teruslah jaga sinarnya
Tetaplah setia menunggu kilaunya
Bertahanlah,
karena engkaulah cahaya yang memendarkan kemilaunya